Rabu, 17 Maret 2021

Rangkuman "Terinspirasi atau Plagiasi?"

Berikut ini adalah rangkuman seminar yang bertema "Terinspirasi atau Plagiasi?" yang dibawakan oleh Mahestha Rastha Andara, S.Pd. Beliau adalah seorang penulis, motivator, dan editor serta founder Sekolah Indonesia menulis. Seminar ini diadakan secara kaloborasi antara komunitas kepenulisan PBP (Penulis Bawa Perubahan) dengan KC (Keluarga Cerama) dengan Khoir sebagai moderatornya. BTT (Back To Topic). 


Apa itu terinspirasi dan plagiasi? Apa perbedaannya? Bagaimana sebuah tulisan bisa dikatakan terinspirasi atau plagiasi?


Sebenarnya, sekilas terinspirasi dan plagiasi adalah dua kata yang berbeda. Akan tetapi, bagi kita yang bergelut dalam dunia karya, dua kata ini bisa dibilang sebelas dua belas. Yang namanya plagiat, berarti sama persis dengan apa yang di-copy paste (copas), kemudian tidak mencantumkan sumber ke daftar pustaka.

Pada dasarnya, terinspirasi itu ada dua jenis. Pertama, terinspirasi membuat tulisan dengan jenis yang 

sama, tetapi isinya versi kita sendiri dan berbeda. Temanya sama, tetapi yang kita sajikan dalam buku kita 180 derajat berbeda. Kedua, terinspirasi membuat tulisan dengan jenis yang bertolak belakang. Kita benar-

benar mengubah apa yang kita baca menjadi sebuah karya baru dengan genre yang berbeda dan lebih fresh, jadi yang diambil dari karya orang lain itu bukan ciri khasnya. Ketika kita terinspirasi dengan buku nonfiksi, jangan gagasan si penulis yang diambil, tetapi kita bisa mengambil poinnya saja, lalu kita bahas dengan versi kita sendiri. Kalau terlalu banyak yang diambil, nanti kita akan dipandang sebagai penulis yang tidak mau berpikir.

Bagi Mahestha Rastha pribadi, mau diambil sama persis atau diubah menjadi versi kita sendiri, tetap saja harus dicantumkannya ke dalam daftar pustaka. Kalau mau menjadi penulis, kuncinya dua, cukup dengan membaca dan menulis saja.


Bagaimana menanggapi orang yang asal mengecap kita sebagai tokoh plagiat? Sedangkan karya kita dengan karya seseorang itu tidak 100% sama. Yang disebut plagiat itu harus 100% sama, 'kan? Bukan mirip dan makna yang dituju sama?


Jawaban Mahestha Rastha: coba untuk bodoh amat. Cukup jelaskan, atau tanya sama dia, 'Samanya di sebelah mananya?' Memang plagiat itu 100% sama. Jika kita mengambil karya orang lain, kita cari cara amannya saja. Jangan mengambil ciri khasnya, tetapi hal lainnya. 

Respons penanya: Awalnya memang bodo amat, toh saat aku menulis, tidak tahu bakal ada yang mirip. Terus, ada beberapa orang yang terus-menerus bilang kalau aku itu plagiat, bahkan ada salah satu dari mereka yang menjadikan aku sebagai contoh tokoh si plagiat. Sudah mati-matian bela diri, tetapi aku tetap kalah. Lalu, bagaimana cara menghilangkan cap tersebut?

Balasan Mahestha Rastha: Kalau begini, jadinya repot. Maka dari itu, cek-cek pasar dahulu. Kunci penulis ada dua, membaca dan menulis. Coba sampaikan ke pencap plagiat, 'Memang kita sebagai penulis hafal semua karya orang-orang yang ada di seluruh Indonesia.' Kan tidak mungkin. Kalau kita merasa karya itu 100% karya kita, PD (percaya diri) saja, toh cukup menjelaskan ini 100% karya kita. Kalau ada yang sama, itu merupakan suatu ketidaksengajaan. Kan tidak mungkin baca ratusan novel di Indonesia, baru kita menulis novel. Minimal cek ke toko buku. Sebelum membuat karya, hati-hati dengan netizen Indonesia. Mereka melihat dari luarnya saja, misal dari covernya atau isinya, meskipun tidak memahami makna plagiat itu sendiri. Ada beberapa cara untuk menghilangkan plagiat. Pertama, kita harus berubah. Sebelum berkarya, baca buku-buku dahulu dan cek pasar dahulu, agar hal yang sama tidak terulang. Kedua, coba membuat karya yang original. Buat karya yang benar-benar dari otak kita sendiri. Bukan dari sumber-sumber atau terinspirasi. 

Respons penanya: Nah, ini. Dahulu, aku tidak suka baca. Setelah kejadian itu, sekarang lebih hati-hati. Akan tetapi, kejadian itu meninggalkan trauma yang mendalam sampai saat ini. Terkadang kalau sudah menulis, suka enggan mempubliskan, karena trauma itu sendiri. Jadi, diri sendiri selalu berkata, 'karyaku pasti mirip orang lain.' Padahal murni tulisan dan pemikiran sendiri.

Balasan Mahestha Rastha: Kalau menurut Mahestha Rastha, jangan mempunyai perasaan itu. Kalau karya di dunia ini dikumpulkan, pasti banyak yang sama. Kalau 100% dari otak kita, ya PD-PD saja. Kalau itu 100%, tidak mungkin sama 100%. Benar tidak, sih? Kecuali kalau itu plagiat karya orang lain, samanya banyak. Kalau dari otak kita itu 100%, ya sudah. Tidak mungkinlah sampai 70% atau 80% sama, pasti banyak bedanya, jadi PD-PD saja. 

Respons penanya: Sudah berusaha, tetapi selalu gagal menghilangkan pemikiran itu. Oh, iya. Terima kasih atas jawaban dan nasihatnya. Sangat bermanfaat sekali. Dan semoga menjadi terapi untuk menghilangkan trauma itu.


Kalau meniru judul itu apakah boleh? Termasuk plagiat atau bukan?


Jawaban Mahestha Rastha: Tergantung judulnya dahulu. Kalau judul lagu, kayaknya boleh. Sudah banyak judul-judul lagu yang sama. Kalau buku, kan harus mengajukan ISBN. Ketika mengajukan ISBN dan judulnya ada yang sama, biasanya penerbit akan mewanti-wanti (berhati-hati atau berjaga-jaga). Penerbit akan menghubungi penulis untuk membicarakan hal itu. Lebih baik diganti kalau diterbitkan ke penerbit besar. Solusi agar judulnya tidak ada judul yang sama, ketik di Google "judul buku: ... (sebutin judulnya). Kalau tidak mau dicap sebagai penulis yang malas berpikir, jangan menyamakan karya sendiri dengan karya orang lain ketika ada judul yang sama. Coba cek ke toko buku atau mana kek. Cari tahu apakah judulnya atau ceritanya sudah ada. Kalau dibilang plagiat, sebenarnya plagiat. Akan tetapi, tidak bisa dibilang plagiat jika tidak sadar kalau sudah ada judul itu. Namun, tetap saja masyarakat akan berpikir kalau kita menyontek. Maka dari itu, lebih baik diganti judulnya.


Apa plagiat dan bajakan sama atau beda? Kalau sama, bagaimana cara membedakannya?


Jawaban Mahestha Rastha: Beda. Plagiat maknanya luas dan plagiat bukan plagiat buku saja, tetapi bisa artikel, tulisan internet, karya akhir skripsi, tesis, disertasi, atau bisa segala macam. Plagiat itu copas karya orang lain, lalu mencapnya sebagai karya kita. Kalau buku-buku bajakan, itu buku di-copy dan discan sampulnya, lalu dijual dengan harga murah. 


Untuk novel, apa sudah bisa dibilang plagiat jika kita mengambil sedikit-sedikit dari novel laris tanpa mencantumkan novel lain tersebut? Misalnya aku menulis novel, terus aku baca novel Dilan. Aku mengambil beberapa kalimat yang kumasukkan ke dalam novelku.


Jawaban Mahestha Rastha: Itu sudah jelas mengambil karya orang lain, jadi wajib mencantumkannya ke daftar pustaka. Entah itu novel yang rata-rata jarang ada daftar pustaka, atau nonfiksi, tetap diberi daftar pustaka kalau mengambil dari karya orang lain. Novel MMahestha Rastha juga mencantumkan daftar pustaka, karena 100% karyanya bukan original dari penulis. 

Respons penanya: Jadi sah-sah saja, Kak, jika novel kita kasih daftar pustaka? Walaupun itu kita hanya mengambil beberapa kalimat saja?

Balasan Mahestha Rastha: Benar. Bagi Mahestha Rastha, Ketika itu karya bukan 100% dr otak kita, maka harus mencantumkannya ke daftar pustaka. Akan tetapi, kalau kita bertanya ke mentor menulis lain, mungkin jawabannya akan berbeda. Namun, Mahestha Rastha merupakan tipe orang yang selalu berusaha menghargai karya orang lain. Semoga dengan itu Allah pun akan menjaga karyanya agar tidak disalahgunakan oleh orang lain


Misal, kita membaca novel, lantas terinspirasi menulis novel sendiri dengan ide cerita yang sama juga ending yang sama, tetapi dibuat dengan alur berbeda, apakah termasuk plagiat?


Jawaban Mahestha Rastha: Kalau bisa, ending-nya jangan sama. Cari ending yang "punya kamu".


Sumber:

Andara, S.Pd., Mahestha Rastha. 2021. Seminar PBP dan KC: Terinspirasi atau Plagiasi? Diambil pada Maret 2021 di seminar "Sharing Room PBP (Penulis Bawa Perubahan) dan KC (Keluarga Cerama)". 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belilah Khamr

Pada suatu hari ada dua orang yang berpakaian tertutup—hanya menampakkan area mata—datang ke sebuah rumah. Orang yang berbulu mata lentik me...