Jumat, 12 Mei 2023

Orang Tua dan Anak

Tanggal 8 Mei lalu adalah Hari Orang Tua. Entah nasional atau internasional. Tapi, gara-gara kuotaku tinggal sedikit, aku nggak mau nulis ini, soalnya takut nggak bisa mengunggahnya. Harusnya nulis dulu ya, baru unggahnya dipikirin belakangan? Tapi ya udahlah, udah telanjur.

Kita mulai.

Apa Anda tahu atau masih ingat hukum menikah dalam Islam? 

Ya, sunatullah. 

Tahu apa itu sunatullah? 

Awalnya kupikir berasal dari kata sunah. Tapi ternyata aku salah. Dalam KBBI, sunatullah adalah:

1. hukum Allah Swt. yang disampaikan kepada umat manusia melalui para rasul,

2. undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah Swt. yang termaktub di dalam Al-Qur'an, atau

3. hukum (kejadian dsb.) alam yang berjalan secara tetap dan otomatis.

Jika menikah merupakan sunatullah, maka mau tak mau kita harus menikah. Maksudnya bukan aku dan kamu menikah terus menjadi kita. Tapi aku dan kamu menikah dengan calon kita masing-masing. 

Walau begitu, tetap ada pengecualian yang membuat manusia tidak bisa menikah. Misalnya mengidap HIV. Daripada pengidapnya makin banyak, lebih baik nggak usah menikah, kan? 

Tapi aku sempat heran sih, kenapa ada orang yang mendonorkan darah, padahal dia mengidap HIV? Setelah dipikir-pikir dan mendapat/ingat bacaan tertentu, aku jadi sadar bahwa hidup atau masih bernapas itu anugerah. Mungkin pendonor darah pengidap HIV di cerpen yang kubaca dan dokternya memiliki prinsip lebih baik pasien selamat walau akan mengidap HIV daripada membiarkannya mengembuskan napas terakhir. 

Dengan menikah, mau tak mau maka kita akan punya anak. Setuju, ya? Memang nggak semua perempuan bisa hamil sih. Bisa karena mandul, suami mandul, salah satunya memiliki penyakit tertentu, atau keduanya memiliki salah satu dari kedua itu. Itu halangan yang nggak bisa kita lawan dan nggak ada yang nggak mungkin bagi Tuhan. Tapi agar tulisan ini tetep berjalan, mari sepakati bahwa suami istri berpeluang besar memiliki anak. 

Soal anak, sekarang aku teringat sama film series anak sekolah. Kata tokoh utamanya, seorang perempuan, meskipun kita udah pakai alat pencegah hamil, kemungkinan perempuan hamil itu masih ada 20%. Lumayan, ya? Selain itu, aku juga pernah tanya salah satu temanku yang ikut KB (Keluarga Berencana). Ternyata kalo kita mau ikut program KB, kita harus punya satu anak dulu. Walo begitu, kalo anak kita bisa menjadi saleh/salihah, ini bisa menjadi salah satu amalan yang memasukkan kita ke surga. Kalopun nggak begitu, mungkin perjuangan didikan kita nggak sia-sia. 

Dengan uraian di atas, sebelum kita memutuskan untuk nikah, kita harus tahu atau sadar diri bahwa pernikahan akan menimbulkan kemungkinan memiliki anak. Jadi, sebelum menikah, kita juga tidak boleh menganggap anak sebagai pembawa sial, beban hidup, atau sejenisnya. Kalo nggak mau punya anak lagi (dengan kata lain dua anak), kita, kan, bisa ikut KB. 

Satu lagi, anak itu titipan Tuhan, jadi sebagai orang tua, kita harus tahu kewajiban kita pada anak. Ingat ini, suatu saat kita pasti dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya perihal anak. 

Kalo kita nggak mau punya anak, ya udah, kita nggak usah mimpi punya pasangan hidup. Hapus semua perasaan cinta kepada lawan jenis yang bisa datang kapan aja sampe akhir hayat. 

Ini lebih luas, melibatkan keluarga besar atau kerabat, harus tahu bahwa anak adalah pemberian-Nya. Jadi, jika Dia belum atau tidak menakdirkan pasangan suami istri untuk diamanahi anak, tidak boleh mengatakan hal-hal yang tidak baik mengenai kabar itu. Bukankah itu sama aja protes pada-Nya?

Aisyah, istri Rasulullah, juga nggak bisa hamil. Anak-anak Rasulullah memang hanya berasal dari istri pertama Rasulullah sekaligus yang paling dicintainya, Khadijah. Aisyah sempat merasa sedih setelah mendengarnya. Tapi Rasulullah mampu menghiburnya, yaitu dia merupakan ibu semua umat Islam (ummul mukminin). Sebagai suami/istri, ya kita harus bisa menghibur pasangan kita.  

Sekarang tentang anak.

Sebagai anak, kita harus tahu kewajiban kita kepada orang tua. Jika kita patuh pada mereka, Tuhan akan rida pada kita, asalkan perintah mereka tidak boleh melanggar syariat, begitu juga jika kita seorang istri, harus patuh pada suami. 

Setelah menikah, kita juga masih punya tanggung jawab kepada orang tua. Jika bukan anaknya, siapa lagi? Bukankah lebih baik jika kita tidak menggantungkan orang lain atau lembaga sosial? 

Menikah yang paling indah itu saling mencintai dan direstui oleh masing-masing orang tua. Kalo nggak mencintai, minimal rida menerima dia sebagai pasangan hidup kita. Apa pun masalahnya nanti, kita harus kuat menghadapinya, seperti Asiyah pada Firaun. 

Menjadi orang tua yang baik itu yang memberikan nama yang baik, berusaha mendidik anak sebaik mungkin, dan tidak lupa mendoakan anak. 

Menjadi anak yang baik itu, selain patuh dan meminta doa pada orang tua, membuktikan kata-kata kita pada mereka. Berjuanglah dan jangan biarkan mimpi kita hanya sekadar kata-kata yang tak berarti. 

Baik sebagai orang tua, anak, atau orang yang akan menikah, lakukan dengan niat baik/bagus, tindakan keras (kerja keras maksudnya), dan jika hampir putus asa, serahkan pada-Nya, karena hanya kepada-Nyalah kita menggantungkan harapan.

(Hening cukup lama, bersemedi memikirkan tulisan sendiri)

Oh iya, baru ingat/sadar. Aku mau menyampaikan satu hal lagi. Izin tarik napas dulu. 

Asal kalian tahu, semua tulisanku di atas merupakan ungkapan kilat, jadi kemungkinan besar banyak yang salah atau masih ada yang kurang. Silakan komentar atau kirim pesan ke media sosial yang aku cantumkan di profil (jika Anda peduli padaku). Sekian, terima gaji. Eh, kasih. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belilah Khamr

Pada suatu hari ada dua orang yang berpakaian tertutup—hanya menampakkan area mata—datang ke sebuah rumah. Orang yang berbulu mata lentik me...